“Sampai tahun 80-an tidak ada pada kami ahli budidaya mangrove, cuma hanya tahu mencari kepiting, udang pakai pukat,” ungkap Umar yang ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Sadar Lingkungan untuk program PEN PKPM ini.
Baca Juga: Antisipasi Tahun Baruan di Alun-alun dan Dago, Kota Bandung Menutup Puluhan Jalan
Warga Bajo sangat patuh akan aturan, mereka mencegah kebiasaan buruk membuang sampah ke laut sekalipun hanya sisa-sisa makanan atau ranting-ranting kayu.
Kepercayaan akan kehadiran ‘mahluk lain’ selain manusia, baik di pantai maupun di pohon-pohon bakau menjadi bagian dari kearifan lokal mereka.
“Kalau ada pohon besar itu tidak kami ganggu, kepada anak-anak dikatakan di situ ada penghuninya, jangan kami ke situ, di situ ada hantunya,” terang Umar.
Baca Juga: Langsung ke Rekening Penerima, Tahun 2021 Pemerintah Siapkan Bansos Tunai Rp300 Ribu Perbulan
Masyarakat Bajo hingga kini kompak menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan mangrove. Mereka siap berjaga untuk menghalau siapa saja yang mengganggu apalagi merambah hutan bakau di sana.
“Alhamdulillah sampai saat ini terjaga. Gubernur Gorontalo sudah mengusulkan ke Kementerian LHK agar ini menjadi kawasan esensial, melestarikan mangrove berikut kearifan lokalnya juga seperti "tiba anca", ritual pengobatan yang ditempatkan di mangrove,” terangnya.***