Jejak Pandemi di Pesisir Gorontalo [1]: Umar Pasandre, Sang Pelestari Mangrove Suku Bajo

- 31 Desember 2020, 11:23 WIB
Umar Pasandre warga suku Bajo, yang sejak lama berjuang melestarikan hutan mangrove di pesisir Torosiaje, Teluk Yomini, Provinsi Gorontalo.
Umar Pasandre warga suku Bajo, yang sejak lama berjuang melestarikan hutan mangrove di pesisir Torosiaje, Teluk Yomini, Provinsi Gorontalo. /Atep AK/Literasi News

Literasi News - Suku Bajo merasa kerasan hidup di pantai Torosiaje, Teluk Tomini, Gorontalo, karena ada sumber penghidupan di sana, yakni hutan mangrove. Umar Pasandre (52) adalah warga asli suku Bajo, yang sejak lama total berjuang melestarikan mangrove demi kelangsungan hidup masyarakat Desa Torosiaje. 

Lebih-lebih, areal pantai ini cukup dangkal dengan luasan mencapai ratusan hektar, sehingga tumbuhan bakau atau mangrove yang menjadi bagian dari ekosistem laut begitu subur meluas tumbuh di sana.

Bahkan dibandingkan menangkap ikan di laut lepas, 80persen mata pencaharian masyarakat Bajo mengandalkan tangkapan ikan, udang, kepiting, dan sejenisnya dari hutan mangrove.

Baca Juga: Film Akhir Tahun: Train To Busan dan Perempuan Tanah Jahanam Tayang di Trans 7 Hari Ini 31 Desember

Maka tak heran, mangrove menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Suku Bajo yang 100 persen menganut agama Islam itu.

Saat berbincang, tokoh adat Suku Bajo, Umar Pasandre menuturkan, sejak kanak-kanak dirinya sudah terobsesi untuk menjaga kelestarian bahkan memperluas hutan mangrove di kampungnya.

Impian serupa ada di benak warga Suku Bajo lainnya, namun rupanya tak sehebat obsesi Umar.

Baca Juga: Segera Daftar, Januari 2021 Kemensos Siap Salurkan Bansos BLT 3,5Juta

“Jujur saja sejak saya masih anak-anak, saya memimpikan begitu rimbunnya mangrove di sekitar sini. Di beberapa desa tetangga juga kami sudah mendapatkan itu, satu jam dua jam mereka memasang pukat atau bubu, itu cepat mendapatkan ikan boronang, udang, dan lainnya,” ungkap Umar, di sela kegiatan monitoring lapangan program Pemulihan Ekonomi Nasional Padat Karya Penanaman Mangrove (PEN PKPM) dari Kementerian LHK, di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, 10 November 2020.

Umar Pasandre (paling kiri) beserta jajaran BPDAS HL Bone Bolango, Gorontalo saat penanaman mangrove dalam program PEN PKPM Kementerian LHK, di pesisir Torosiaje, Pohuwato Gorontalo, November 2020.
Umar Pasandre (paling kiri) beserta jajaran BPDAS HL Bone Bolango, Gorontalo saat penanaman mangrove dalam program PEN PKPM Kementerian LHK, di pesisir Torosiaje, Pohuwato Gorontalo, November 2020. Literasi News

Namun impian besarnya terganggu dengan aksi-aksi perambahan hutan mangrove. Sepanjang tahun 80 sampai 90-an terjadi alih fungsi pemanfaatan mangrove, di mana pohon-pohonya yang besar ditebang untuk digunakan keperluan lain.

Umar saat itu belum begitu paham dampak dari perambahan tersebut. Ia hanya merasakan dampaknya ketika hamparan pantai yang begitu luas sudah tidak rimbun lagi. Ikan-ikan pun semakin menjauh dan sulit ditangkap.

Baca Juga: Mau Buat Sate Maranggi di Malam Tahun Baru, Berikut Resepnya

“Kami tidak tahu apakah dampaknya itu, yang pasti yang kemarin hasilnya dekat, kini makin menjauh,” keluh Umar.

Perambahan itulah yang membuat motivasi Umar untuk memelihara, menanam kembali semakin menjadi. Sejak saat itu, ia pun kemudian secara total menjadi seorang penggerak pelestari mangrove.

“Kami awalnya ngumpul-ngumpul, bagaimana kiat membuat satu kelompok untuk menjaga ini (mangrove). Alhamdulillah pada tahun 2009 terbentuklah kelompok KSL Paddakuang. Lalu mendapat pelatihan-pelatihan perikanan dari BPDAS HL, BKSDA, kami ikut untuk memahami fungsi dan manfaat mangrove,” papar dia.

Baca Juga: Ini Tiga Jenis BLT Mensos, Yang Akan Disalurkan Mulai 4 Januari

Kini, semangat Umar semakin menjadi dengan adanya program PEN PKPM dari pemerintah pusat melalui KLHK. Pandemi Covid-19 yang cukup berpengaruh negatif terhadap pendapatan ekonomi masyarakat bawah, disambut gembira oleh masyarakat Suku Bajo.

Harapan Umar bersama  warga Bajo lainnya kian bertumbuh karena mendapat upah yang layak dari bibit-bibit mangrove yang mereka tanam di lahan kosong pantai Torosiaje.

“Sampai tahun 80-an tidak ada pada kami ahli budidaya mangrove, cuma hanya tahu mencari kepiting, udang pakai pukat,” ungkap Umar yang ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Sadar Lingkungan untuk program PEN PKPM ini.

Baca Juga: Antisipasi Tahun Baruan di Alun-alun dan Dago, Kota Bandung Menutup Puluhan Jalan

Warga Bajo sangat patuh akan aturan, mereka mencegah kebiasaan buruk membuang sampah ke laut sekalipun hanya sisa-sisa makanan atau ranting-ranting kayu.

Kepercayaan akan kehadiran ‘mahluk lain’ selain manusia, baik di pantai maupun di pohon-pohon bakau menjadi bagian dari kearifan lokal mereka.

“Kalau ada pohon besar itu tidak kami ganggu, kepada anak-anak dikatakan di situ ada penghuninya, jangan kami ke situ, di situ ada hantunya,” terang Umar.

Baca Juga: Langsung ke Rekening Penerima, Tahun 2021 Pemerintah Siapkan Bansos Tunai Rp300 Ribu Perbulan

Masyarakat Bajo hingga kini kompak menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan mangrove. Mereka siap berjaga untuk menghalau siapa saja yang mengganggu apalagi merambah hutan bakau di sana.

“Alhamdulillah sampai saat ini terjaga. Gubernur Gorontalo sudah mengusulkan ke Kementerian LHK agar ini menjadi kawasan esensial, melestarikan mangrove berikut kearifan lokalnya juga seperti "tiba anca", ritual pengobatan yang ditempatkan di mangrove,” terangnya.***

Editor: Atep Abdillah Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah