Huda mendorong pemerintah agar memperbaiki komunikasi terkait berbagai rumor yang menyertai pembangunan lima destinasi wisata super prioritas.
Termasuknya informasi mengenai masuknya perusahaan-perusahaan besar di Taman Nasional Komodo yang nantinya memonopoli layanan penyediaan jasa wisata alam maupun penyediaan jasa sarana wisata.
“Berdasarkan informasi yang disampaikan kepada kami ada setidaknya empat perusahaan besar yang secara esklusif mengelola bisnis layanan jasa maupun sarana wisata di Taman Nasional Komodo. Kalau benar demikian pasti warga yang menjadi pelaku wisata akan tersingkirkan karena harus melawan kekuatan modal yang begitu besar,” katanya.
Pengembangan Kawasan destinasi super prioritas, lanjut Huda, sama sekali tidak boleh meminggirkan peran warga lokal. Kalau memang model pengembangan kawasan tersebut harus melibatkan pihak ketiga, maka harus jelas skema pelibatan pelaku wisata lokal.
“Jangan sampai warga lokal hanya menjadi penonton saat muncul konsep pengembangan destinasi wisata super prioritas di wilayah mereka,” paparnya.
Huda pun meminta agar pemerintah dan aparat keamanan mengedepankan dialog dalam menyikapi protes pelaku wisata di Labuan Bajo yang mengelar aksi mogok. Dia pun mendesak agar mereka yang ditangkap dan ditahan segera dibebaskan.
“Sekali lagi tujuan pengembangan destinasi super prioritas juga untuk kepentingan warga lokal. Kalau mereka punya aspirasi harusnya hal itu didengar dan diakomodasi. Jangan malah menggunakan langkah represif untuk membungkam mereka,” pungkasnya.***