Literasi News - Pelemahan daya beli masyarakat menjadi hal yang perlu diwaspadai dalam memasuki tahun 2023, di tengah bayangan ancaman resesi global tahun depan.
Pelemahan daya beli masyarakat itu di antaranya karena pelaku usaha menaikkan harga produknya, akibat naiknya harga bahan baku industri.
Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani, dalam Dialog Pakar "Peran APBN dalam Pemulihan Ekonomi" di Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, beberapa industri akan menaikkan harga karena nilai tukar rupiah sudah menyentuh Rp15.000 per dolar Amerika Serikat. "Sementara asumsi mereka ada di Rp14.600 per dolar AS,” tuturnya.
Disebutkan, depresiasi (pelemahan) nilai tukar (kurs) rupiah dan inflasi China telah meningkatkan harga bahan baku industri.
Meskipun demikian, menurut dia, daya beli masyarakat diperkirakan dapat terjaga dengan pendistribusian Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Selain itu pada 2023, kenaikan biaya pinjaman bagi pelaku usaha karena kenaikan suku bunga acuan berbagai bank sentral di dunia juga menjadi tantangan.
"Kemarin kita terlambat menaikkan suku bunga acuan BI sehingga capital outflow sudah terjadi. Obligasi pemerintah yang tadinya didominasi investor asing dengan sumbangan hingga 35 persen menjadi hanya 14 persen," katanya.
Ia pun mendukung usulan Kementerian Keuangan agar Devisa Hasil Ekspor (DHE) ditempatkan di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sehingga tidak ditempatkan di negara lain, yang dapat semakin memukul nilai tukar rupiah.
Pada tahun 2023, Aviliani memperkirakan permintaan ekspor akan melambat sehingga pemerintah dinilai perlu memberikan insentif hanya bagi industri yang dapat menghasilkan produk setengah jadi, yang bisa masuk ke rantai pasok global.
Masyarakat juga perlu terus diedukasi agar dapat mencari substitusi beras sebagai bahan pangan pokok yang dapat memenuhi kebutuhan karbohidrat.
"Sektor yang berkontribusi paling besar kepada perekonomian hanya pertanian, pertambangan, manufaktur, perdagangan, dan konstruksi dengan sumbangan hingga 75 persen, sehingga perlu dipikirkan bagaimana mereka berkontribusi lebih tinggi pada perekonomian,” ujarnya.***