Literasi News – "Torosiaje kamannang kaddadiangku" itulah judul sekaligus bait awal lagu spirit kehidupan suku Bajau atau Suku Bajo, Provinsi Gorontalo.
Lagu tersebut spontan dinyanyikan warga suku Bajo saat menerima program Pemulihan Ekonomi Nasional Padat Karya Penanaman Mangrove (PEN PKPM) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada November 2020. Program ini merupakan bantuan ekonomi bagi masyarakat pesisir yang terdampak pandemi Covid-19.
Baca Juga: Penyesuaian Kesejahteraan ASN Terkait Gaji, dan Tunjangan Tertunda, Ini Penjelasan MenPANRB
Sejak nenek moyang mereka, kehidupan masyarakat suku Bajo seperti tidak bisa dilepaskan dengan laut dan mangrove.
Lagu bernada penuh semangat tersebut bercerita tentang arti laut bagi Suku Bajo, di mana laut merupakan tempat mereka dilahirkan, dibesarkan, hingga mati.
“’Mau mate entang ku sekali’, bahkan biar mati pun mereka tidak akan lupakan. Kehidupan semua keluarga tidak akan lepas dari rumpun kami. Secara turun temurun dari anak-anak hingga orang tua mengetahui lagu itu,” tutur tokoh adat Suku Bajo, Umar Pasandre (52), di sela kegiatan monitoring lapangan program PEN PKPM dari Kementerian LHK, di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, 10 November 2020.
Baca Juga: Tahun Baruan di Dago Ditutup Enggak?Ini Daftar Lokasi Terlarang Rayakan Tahun Baru di Bandung
Masyarakat adat Suku Bajo menyanyikan lagu tersebut saat prosesi penyambutan jajaran tim monitoring PEN PKPM beserta jajaran Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Bone Bolango beserta instansi terkait lainnya dari KPH Perhutani, LSM Lingkungan, serta perwakilan instansi lainnya.
Selintas menyinggung sejarah kehidupan Suku Bajo, Umar bercerita, sejak kedatangannya ke Desa Torosiaje pada tahun 1901 hingga tahun 1950-an, masyarakat Suku Bajo sepenuhnya hidup di atas perahu.
Semua aktivitas dari tidur, memasak, mencari ikan, dilakukan di perahu. Aktivitas seperti itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari karena hidup mereka masih berpindah-pindah dari pesisir satu ke pesisir lainnya mengikuti perubahan musim.
Baca Juga: Janjikan Beasiswa ke Anak Pemulung, Mensos Risma: Di Surabaya Juga Anak Tukang Batu Jadi Sarjana
“Mulai membangun rumah antara tahun 45 sampai 50-an. Itupun tidak semuanya, paling empat sampai lima buah. Dan tahun 60-an itu sudah pada banyak. Sebelumnya di perahu, tidurnya, alat masaknya, alat tangkap ikannya, keluarganya, anak-anaknya,” tutur Umar.
Sejak tahun 50-an itulah masyarakat suku Bajo menetap di pantai tersebut dengan rumah -rumah panggung di atas air. Tak berasa, jumlah penduduknya kini sudah mencapai 1.448 jiwa, yang terbagi dalam 450 kepala keluarga.***