Urgensi Ukhuwah Islamiah Dan Wathoniyah: Dulu dan Sekarang

- 30 Oktober 2023, 12:30 WIB
Urgensi Ukhuwah Islamiah Dan Wathoniyah; Dulu dan Sekarang.
Urgensi Ukhuwah Islamiah Dan Wathoniyah; Dulu dan Sekarang. /Dok Literasi News

Muncullah sejak itu yang disebut Piagam Madinah, sebuah konstitusi paling awal bagi negara modern. Umat muslim dan non-muslim terikat oleh kesepakatan bersama untuk bahu-membahu membela dan mempertahankan negara dan tanah air mereka.

Sejak itulah dikenal secara teoritis istilah Ukhuwah Wathaniah atau Persaudaraan Kebangsaan, yang didasarkan pada kepentingan bersama, membela bangsa dan tanah air, dengan tetap menghormati keragaman keyakinan dan identitas masing-masing (Muslim, Yahudi, Nasrani).

Masyumi, Model Ukhuwah Era Awal Kemerdekaan

Jauh sebelum Piagam Madinah (sebagai simbol Ukhuwah Wathaniah) dideklarasikan di Yatsrib, terlebih dahulu Rasulullah sudah mendeklarasikan Ukhuwah Islamiah di Makkah. Para sejarawan mencatat, sejak sebelum hijrah, Rasulullah telah mempersaudarakan sesama umat muslim Makkah.

Hal itu menunjukkan persaudaraan adalah substansi ajaran Islam dalam membangun komunitas, yang kelak menjadi bangsa dan negara. Hari ini, ajaran inti Islam tentang kebangsaan sedang mendapatkan tantangan, lebih-lebih di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim.

Dalam rangka mewujudkan cita-cita itu pada awal masa kemerdekaan lahirlah Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menjadi wadah bagi tokoh dan organisasi Islam setelah kemerdekaan. Dibentuk pada 7 November 1945, Masyumi pernah menjadi kisah manis ketika organisasi Islam bersatu dalam satu wadah, sebagai reaksi dari kurang terwakilkannya tokoh Islam dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Masyumi didirikan atas inisiatif tokoh-tokoh dari empat organisasi Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia sebagai gerakan ukhuwah wathoniyah wal wihdah menuju cita-cita berdirinya negara Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.

Kepengurusan awal Masyumi seperti mencerminkan sifat persatuan anak bangsa dari umat Islam. Ketua Majelis Syuro saat itu ditempati K.H. Hasyim Asy’ari dari NU. Lalu Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah sebagai Ketua Muda I dan K.H. Wahid Hasyim sebagai Ketua Muda II. Sedangkan untuk level Pimpinan Pusat Masyumi diketuai oleh Soekiman, politisi yang pernah di Sarekat Islam. Sedangkan beberapa anggota terdiri dari tokoh muda Islam baik perorangan maupun organisasi.

Jejak manis Masyumi memang menjadi pengingat dan lambang ukhuwah Islamiah- wathoniyah dan satu-satunya wadah politik umat Islam yang berpuluh tahun diupayakan ditengah perpecahan, konflik dan perbedaan yang mewarnai perjalananya.

Saatnya Mengakhiri Konflik Menuju Persatuan dan Persaudaraan

Dalam satu dekade terakhir, konflik umat muslim berkembang cepat, dari yang semula antar ormas keagamaan berubah menjadi konflik internal. Sebut saja kasus NU.

Pada periode pertama pemerintah Joko Widodo, warga dan ormas NU seakan-akan menilai orang-orang Hizbut Tahrir, FPI, bahkan partai politik PKS sebagai musuh bebuyutan. Akhirnya dengan dukungan ormas NU, salah satunya, HTI dibubarkan dan izin FPI tidak diperpanjang.

Halaman:

Editor: Abdul Rokib


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah