Alami Resesi,Pengamat Ekonomi: Dua Hal Harus Dipahami Ancaman Resesi

23 September 2020, 12:21 WIB
Ilustrasi Resesi /Google/

 

Literasi News - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia resmi mengalami resesi.

Kementerian Keuangan melakukan revisi forecast, sebelumnya untuk tahun ini minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen, yang terbaru minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen.

Untuk pertama kalinya sejak 1998, Indonesia diperkirakan akan masuk ke jurang resesi dan mencatatkan kontraksi ekonomi atau pertumbuhan negatif untuk tahun 2020.

Baca Juga: Yuk Simak Jadwal TV Indosiar, SCTV dan Trans TV Hari Ini 23 September 2020

Akademisi dari Universitas Padjadjaran Ferry Hadiyanto menuturkan, secara teoritis ada ahli yang memandang resesi dikatakan terjadi saat adanya kontraksi negatif selama dua kuartal.

Di sisi lain, adapula sejumlah ahli yang memiliki pandangan berbeda, yakni menunggu satu tahun terjadi kontraksi negatif baru dapat dikatakan resesi.

Terlepas dari perbedaan definisi tersebut, diakui, kenyataannya saat ini sulit bagi Indonesia untuk bisa membukukan pertumbuhan positif.

Baca Juga: Bunda, Si Kecil Susah Makan?Coba 10 Tips Ini

Hanya ia menekankan, di dalam ilmu ekonomi yang terpenting adalah tren dari perkembangan yang ada.

Misalnya, dalam konteks resesi yang tengah menjadi pembahasan. Ia menjelaskan meski kuartal III diyakini pertumbuhan ekonomi negatif namun angkanya lebih kecil dibandingkan kuartal II lalu.

Hal ini menandakan bahwa sebetulnya kondisi di kuartal III lebih baik dibandingkan periode sebelumnya.

“Yang terpenting bukan masalah resesinya tapi lihat trennya apakah membaik atau tidak. Resesi itu yang dikhawatirkan kalau turun terus menuju depresi. Sedangkan sekarang negatifnya lebih kecil,” katanya saat dihubungi, Selasa, 22 September 2020.

Baca Juga: Kasus positif COVID-19 Indonesia Hari Ini bertambah 4.071 jadi 252.923 kasus

Dengan demikian, Ferry menggarisbawahi ada dua hal yang mesti dipahami terkait ancaman resesi saat ini.

Pertama tidak perlu pesimis berlebihan karena kita bukan satu-satunya negara menghadapi kondisi tersebut.

Kedua, meski masih negatif namun angkanya semakin kecil sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan yang diambil untuk menjaga agar ekonomi tidak semakin buruk telah berhasil.

“Bahwa penanganan agar kita tidak resesi akibat pandemi ternyata membuahkan hasil. Maka, kita harus yakin bahwa tekanan yang dihadapi saat ini bisa dilalui bersama,” katanya.

Optimisme tersebut, menurut dia, harus dibangun agar masyarakat tidak pesimis sehingga menjaga agar berperilaku sebagaimana biasa. Alasannya, ketika masyarakat khawatir dan pesimis dengan kondisi kedepan justru efeknya dapat menjadi lebih buruk. Misalnya memunculkan spekulasi dan menahan uang diperbankan. Optimisme masyarakat akan mampu mendorong agar kondisi bisa lebih baik.

Baca Juga: Hadapi Gelombang PHK, Gus Ami : Semua Harus Bersinergi

Lebih lanjut, disinggung mengenai kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah ditengah ancaman resesi yang kian terbuka, Ferry menuturkan, pertama dalam kondisi resesi yang terpenting adalah mendorong belanja pemerintah. Pemerintah harus menggenjot konsumsinya agar ekonomi bergerak.

“Jangan ada lagi refocusing anggaran. Belanja pemerintah yang paling urgent saat ini, bisa dengan pemberian subsidi, bisa dengan transfer ke daerah, yang penting ekonomi bergerak,” katanya.

Kedua diperlukannya dukungan kebijakan moneter dari bank sentral untuk mendukung kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah. Dipaparkan, sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi rumah tangga. Maka maksud pemerintah memberikan bantuan adalah untuk menjaga agar konsumsi tidak anjlok.

Baca Juga: Tantangan Budaya Literasi Sekolah di Tengah Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Hanya, menurutnya, langkah yang sudah dilakukan pemerintah tersebut harus ditopang dengan kebijakan moneter dari bank sentral untuk mendukung percepatan. Misalnya dengan menambah jumlah uang beredar atau menurukan tingkat bunga.

"Harus ada perceparan, konsumsi dilonggarkan. Dari sisi fiskal, pemerintah sudah. Butuh koordinasi dari bank sentral, harus ada kebijakan moneter,” ucapnya.***

Editor: Zaenal Mutaqin

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler