Urgensi Ukhuwah Islamiah Dan Wathoniyah: Dulu dan Sekarang

30 Oktober 2023, 12:30 WIB
Urgensi Ukhuwah Islamiah Dan Wathoniyah; Dulu dan Sekarang. /Dok Literasi News

Oleh: KH Imam Jazuli, Lc. MA

Literasi News - Ukhuwah Islamiah dan Ukhuwah Wathaniah adalah esensi ajaran Islam dibidang sosial, yang diprogramkan oleh Rasulullah SAW. Saat itu Yastrib atau Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu Bani Aus dan Bani Khazraz. Bani Aus kebanyakan kelas ekonomi bawah sementara bani Khazraz kelas menengah atas. Meskipun dari bangsa yang sama, yaitu Arab, kedua kelompok tersebut sering terlibat dalam pertikaian dan peperangan untuk berebut kekuasaan di Madinah.

Kemudian ketika Rasullah datang, dari dua kelompok besar itu juga berbeda sikap saat kedatangan pendatang dari Mekkah (muhajirin). Ada pro dan kontra, selanjutnya di Madinah terbelah menjadi dua kelompok besar lagi antara kaum anshor dan muhajirin ditengah kelompok bani Aus dan Khazraz.

Maka langkah dakwah pertama Rasulullah adalah mempersaudarakan mereka yaitu Bani Aus dan Khazraz, juga dua kelompok kaum muslimin, yakni Muhajirin dan Anshar. Rasulullah SAW menganjurkan untuk kedua kaum tersebut untuk saling memupuk persaudaraan seagama dan melarang adanya sentimen kesukuan dan aliran demi memperkuat barisan umat Islam dengan ukhuwah wathoniyah. Kelak dari ukhuwah Islamiah yang telah bersatu inilah ketika Madinah berkali-kali diserang kaum kafir-quraish yang bersekongkol dengan Yahudi, bisa menang.

Dasar terbentuknya Kota Madinah hanya satu, yang oleh para sejarawan maupun para penulis biografi Rasulullah Saw disebut dengan istilah al-ikha' (اَلْإِخَاء). Persaudaraan atau mempersaudarakan.

Orang-orang Muhajirin yang tidak punya tempat tinggal, kehilangan pekerjaan, dan terputus dari keluarganya di Makkah, kini mereka mendapatkan kembali apa yang hilang itu di Yatsrib.

Setibanya di Yatsrib, Muhajirin kembali memiliki saudara, memiliki keluarga baru, juga tempat tinggal dan mata pencaharian baru. Mereka yang menyambut kedatangan Muhajirin disebut kaum Anshar.

Para ulama memformulasikan satu teori berbasis ajaran Rasulullah Saw dan para sahabat tersebut dengan istilah Ukhuwah Islamiah. Persaudaraan yang dibangun di atas nilai keislaman. Bersaudara karena sama-sama beragama Islam.

Namun, kota Yatsrib tidak saja berpenduduk muslim melainkan juga ada kaum Yahudi dan Nasrani. Rasulullah Saw memiliki program lintas iman, yaitu mempersaudarakan umat muslim dengan non-muslim atas dasar kebangsaan.

Muncullah sejak itu yang disebut Piagam Madinah, sebuah konstitusi paling awal bagi negara modern. Umat muslim dan non-muslim terikat oleh kesepakatan bersama untuk bahu-membahu membela dan mempertahankan negara dan tanah air mereka.

Sejak itulah dikenal secara teoritis istilah Ukhuwah Wathaniah atau Persaudaraan Kebangsaan, yang didasarkan pada kepentingan bersama, membela bangsa dan tanah air, dengan tetap menghormati keragaman keyakinan dan identitas masing-masing (Muslim, Yahudi, Nasrani).

Masyumi, Model Ukhuwah Era Awal Kemerdekaan

Jauh sebelum Piagam Madinah (sebagai simbol Ukhuwah Wathaniah) dideklarasikan di Yatsrib, terlebih dahulu Rasulullah sudah mendeklarasikan Ukhuwah Islamiah di Makkah. Para sejarawan mencatat, sejak sebelum hijrah, Rasulullah telah mempersaudarakan sesama umat muslim Makkah.

Hal itu menunjukkan persaudaraan adalah substansi ajaran Islam dalam membangun komunitas, yang kelak menjadi bangsa dan negara. Hari ini, ajaran inti Islam tentang kebangsaan sedang mendapatkan tantangan, lebih-lebih di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim.

Dalam rangka mewujudkan cita-cita itu pada awal masa kemerdekaan lahirlah Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menjadi wadah bagi tokoh dan organisasi Islam setelah kemerdekaan. Dibentuk pada 7 November 1945, Masyumi pernah menjadi kisah manis ketika organisasi Islam bersatu dalam satu wadah, sebagai reaksi dari kurang terwakilkannya tokoh Islam dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Masyumi didirikan atas inisiatif tokoh-tokoh dari empat organisasi Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia sebagai gerakan ukhuwah wathoniyah wal wihdah menuju cita-cita berdirinya negara Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.

Kepengurusan awal Masyumi seperti mencerminkan sifat persatuan anak bangsa dari umat Islam. Ketua Majelis Syuro saat itu ditempati K.H. Hasyim Asy’ari dari NU. Lalu Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah sebagai Ketua Muda I dan K.H. Wahid Hasyim sebagai Ketua Muda II. Sedangkan untuk level Pimpinan Pusat Masyumi diketuai oleh Soekiman, politisi yang pernah di Sarekat Islam. Sedangkan beberapa anggota terdiri dari tokoh muda Islam baik perorangan maupun organisasi.

Jejak manis Masyumi memang menjadi pengingat dan lambang ukhuwah Islamiah- wathoniyah dan satu-satunya wadah politik umat Islam yang berpuluh tahun diupayakan ditengah perpecahan, konflik dan perbedaan yang mewarnai perjalananya.

Saatnya Mengakhiri Konflik Menuju Persatuan dan Persaudaraan

Dalam satu dekade terakhir, konflik umat muslim berkembang cepat, dari yang semula antar ormas keagamaan berubah menjadi konflik internal. Sebut saja kasus NU.

Pada periode pertama pemerintah Joko Widodo, warga dan ormas NU seakan-akan menilai orang-orang Hizbut Tahrir, FPI, bahkan partai politik PKS sebagai musuh bebuyutan. Akhirnya dengan dukungan ormas NU, salah satunya, HTI dibubarkan dan izin FPI tidak diperpanjang.

Dinamika politik berubah. Pada periode kedua Jokowi, warga dan ormas NU sudah tidak lagi memiliki musuh imajiner. Sebagaimana pelajaran dari sejarah umat manusia, setiap kali peradaban mencapai puncak, maka tiba giliran kehancuran, yang dimulai dari konflik internal.

Ini pula yang terjadi. Ketika NU dan warga NU tidak memiliki musuh imajiner mereka, katakanlah seperti HTI dan FPI, maka internal NU mengalami perpecahan. Dimulai sejak era kepemimpinan Gus Yahya Sampai sekarang.

Di lain sini, Walaupun sudah mulai ada gerakan Ukhuwah Islamiah, bahkan Wathaniah yang dilakukan oleh sebagian ulama NU, seperti membangun kembali komunikasi dengan mantan-mantan aktivis HTI dan FPI, namun kenyataan itu dinilai bermasalah bagi sebagian elite warga NU. Mereka umumnya masih ta'assub buta *fanatik* golongan secera berlebihan dan selalu menganggap yang lain adalah musuh.

Inilah tantangan dan hambatan besar yang dihadapi umat muslim Indonesia hari ini. Menjalankan ajaran Ukhuwah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw terasa amat berat di implementasikan. Padahal, masih dalam kategori sesama umat muslim, tetapi tampak berat bagi sebagian elite NU untuk membangun tali asih, tali asuh, dengan mantan-mantan HTI, FPI, alumni 212, dan sejenisnya termasuk dengan PKS.

Tidak perlu heran jika kalimat *Islam Rahmatan lil 'Alamin*, Tasamuh, tawazun dan ta'adul bahkan *Ukhuwah Islamiah* yang sering di dengungkan elit NU/ pengurus PBNU terasa hanya pepesan Kosong belaka, karena senyatanya masih memandang yang berbeda faham keagamaan sebagai musuh bukan sebatas kompetitor dalam dakwah Islamiah. Ini sungguh ironis !!

Menapaki jejak betapa pentingnya ukhuwah Islamiah dan wathoniyah di atas, maka berkoalisinya PKB dan PKS adalah salah satu langkah brilian untuk menggapai jejak sejarah masa lalu Zaman Nabi dan mewujudkan cita-cita Masyumi. Tetapi memang benar, membangun Madinah Munawwarah atau Indonesia dengan semangat ukhuwah Islamiah dan wathoniyah tidak mudah. Egosentrisme dan Fanatisme buta masih menjadi mendung gelap yang menyelimuti hati dan kesadaran kita hari ini. Wallahu a'lam bis shawab.***

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Editor: Abdul Rokib

Tags

Terkini

Terpopuler