Buya Hamka, Islam, Demokrasi, Fukuyama, Levitsky-Ziblatt

- 30 Agustus 2021, 07:23 WIB
Moeflich H. Hart: Buya Hamka, Islam, Demokrasi, Fukuyama, Levitsky-Ziblatt
Moeflich H. Hart: Buya Hamka, Islam, Demokrasi, Fukuyama, Levitsky-Ziblatt /Dok Literasi News/

Buya Hamka dan Cak Nun klop, ulama yang lurus, sekeyakinan, sealam pikiran, seprinsip, seideolgi, beragama tidak untuk main-main, setengah-setengah, tapi dengan keimanan yang penuh, totally, kaffah.

Kutipan Buya Hamka diatas, sepertinya tak berlaku bagi kaum intelektual dan cendekiawan Muslim Indonesia. Sebab, kalimat itu adalah militansi dan fundamentalisme dalam pemikiran sosiologi politik atau radikal pada istilah sekarang.

Intelektual dan cendekiawan Muslim Indonesia umumnya menerima demokrasi sebagai hal yang biasa, bagian dari nilai-nilai politik Islam, tak bertentangan dengan Islam, sesuai dengan Islam dll. Itu pemikiran umum di masyarakat Islam pada era tahun 1980/90an.

Menyatakan kalimat seperti Buya Hamka, sepertinya tak akan keluar dari Muslim terpelajar apalagi lulusan Barat, yang wawasannya luas, pemikir, intelektual dan cendekiawan Muslim. Kebanyakan kaum intelektual dan cendekiawan Muslim Indonesia, selain menerima demokrasi juga sebagai pelopor demokrasi di masyarakat Muslim.

Belakangan, demokrasi sebagai sistem politik yang rapuh, tak menjanjikan, tak cocok untuk semua masyarakat yang berbeda-beda, penopang utama kapitalisme, bahkan rusak dan dinyatakan sudah tamat. Hal itu bukan datang dari para pemikir Islam tetapi dari para pemikir Barat sendiri.

Selain banyak yang lain-lain sebelumnya, yang terakhir dan fenomenal adalah buku "How Democracies Die" (2018) yang ditulis oleh dua orang ahli comparative politics dari Harvard University Amerika Serikat, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.

Rupanya, pemikiran "militan, fundamentalis dan radikal" Islam, menemukan momentumnya, pembuktian dan pembenarannya di masa yang disebut oleh Francis Fukuyama "the end of history" (di akhir sejarah).

Inti tesis Fukuyama, demokrasi adalah pemenang akhir sejarah yang tak akan ada lagi yang lebih kuat setelahnya sampai akhir zaman (kiamat). Tak lama, Tesis Fukuyama kini sudah goyah dipukul oleh sesama para ilmuwan sendiri.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang pernah menulis fundamentalisme bukan masa depan Islam, rupanya pun gugur, bila melihat tren politik dunia dimana kaum Muslim, sejalan dengan luntur dan tamatnya demokrasi, menyuarakan terus-menerus kembali kepada Islam, bila 'kembali kepada Islam' disebut sebagai fundamentalisme.

Bisa dimaklumi, Cak Nur mengucapkan itu saat demokrasi sedang jaya-jayanya hingga pertengahan abad akhir abad ke-20 (1980-an). Tak terbayangkan demokrasi akan menyusut dan mengalami kebangkrutan seperti bangkrutnya komunisme yang runtuh di Uni Soviet tahun 1990.

Halaman:

Editor: Hasbi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah