Mengenal Esensi dan Sejarah Halal Bihalal, yang Dilaksanakan Setelah Hari Raya Idul Fitri

- 2 Mei 2023, 18:06 WIB
Mengenal Esensi dan Sejarah Halal Bihalal, yang Dilaksanakan Setelah Hari Raya Idul Fitri
Mengenal Esensi dan Sejarah Halal Bihalal, yang Dilaksanakan Setelah Hari Raya Idul Fitri /Prokopim Banyumas

Di awal abad ke-20 awal, dokumen majalah suara Muhammadiyah edisi nomor 5 tahun 1924 menyebutkan bahwa orang dulu menggunakan istilah halal bahalal. Dalam riwayat lain, seorang penjual martabak asal India yang mempromosikan dagangannya di sekitar taman Sriwedari Solo (tahun 1935-1936) dengan menyebut martabak semakin lebar alias halal bihalal.

"Dokumen ini ditemukan dalam catatan sejarah. Namun yang menjadi patokan adalah gagasan yang disampaikan oleh KH Abdul Wahab Chasbillah pada tahun 1948 di kala Presiden Soekarno meminta solusi pada Mbah Wahab untuk menyelesaikan konflik yang terjadi pada elite politik di pemerintahan," ungkap Damahuri.

Sowan yang dilakukan Bung Karno itu membuahkan jalan keluar, yakni diselesaikan dengan silaturahim. Hanya saja istilah itu sudah lumrah dikenal masyarakat. Akhirnya, sambungnya, Mbah Wahab menggantinya dengan istilah baru, yakni halal bihalal.

"Para elite politik yang tak mau bersatu dikumpulkan dalam suatu meja supaya mereka tidak punya dosa atau harus dihalalkan dosanya. Hingga kini cerita legendaris ini dikenal olehmasyarakat luas," kenangnya.

Pria yang kini diamanahi sebagai Wakil Ketua I Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk ini menjabarkan gagasan Mbah Wahab menjadi dua argumentasi ilmiah. Pertama, adanya thalabu halal li thariqi halal. Maksudnya, menyelesaikan masalah dalam sebuah keharmonisan dengan cara mengampuni sebuah kesalahan.

"Kedua, membedakan kesalahan yang dibalas dengan kebebasan atau memaafkan. Makanya saat lebaran, warga menggunakan istilah kosong-kosong. Jadi esensi halal bihalal adalah memberikan maaf pada orang lain," ujarnya.

Damanhuri menyatakan, istilah halal bihalal semakin berkembang yang kini dikenal dengan sebutan temu kangen atau reuni yang dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri. Berdasarkan pengamatannya, konten pemersatu lewat silaturrahim, hakikatnya adalah adanya kelapangan dada untuk melepas rasa sakit, menciptakan suasana yang kondusif, membangun sesuatu yang baik bagi agama, bangsa, dan negara.

"Halal bihalal harus menggembirakan. Lewat acara makan-makan, minun-minuman yang enak, besenda gurau, cerita masa lalu, dan lainnya, menjadi bumbu halal yang berkembang saat ini atau tidak sekedar maaf-maafan. Bahkan ada pula ajang cari jodoh. Intinya banyak hikmah di balik halal bihalal," terangnya.

Damanhuri menegaskan, seluruh kegiatan halal bihalal tidak lepas dari watak masyarakat Indonesia. Karena watak masyarakat mengedepankan adat ketimuran yang ramah, santun, toleran, tolong menolong. Hasil survei tahun 2009 menyatakan, 98 persen warga Indonesia murah senyum. Ini menunjukkan bahwa masyarakat suka berbagi, berkumpul dan saling memaafkan.

"Dengan demikian, halal bihalal bukan sekedar ritual keagamaan, tapi menyangkut kemanusiaan. Karena silaturrahim berasal dari dua kata, yaitu silah bermakna positif dan rahim bermakna kasih sayang," tuturnya.***

Halaman:

Editor: Abdul Rokib


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x