Puasa Tak Sekedar Menahan Dahaga dan Lapar, Haidar Bagir : Perjalanan Suluk

- 25 Maret 2023, 04:20 WIB
Puasa Tak Sekedar Menahan Dahaga dan Lapar, Haidar Bagir : Perjalanan Suluk.
Puasa Tak Sekedar Menahan Dahaga dan Lapar, Haidar Bagir : Perjalanan Suluk. /Twitter @haidar_bagir

Literasi News - Pengertian secara lahiriah puasa  berarti menahan lapar dan dahaga. Dan ini merupakan kewajiban kaum muslim berupaya menaikan derajat ketakwaan mereka di hadapan Allah Swt. Yang pertama kali menerima perintah ini umat Nabi Nuh as., kemudian dilanjutkan oleh Nabi Daud as.

 

Namun demikian, hal yang tak boleh dilupakan bagaimana memaknai puasa lebih sekedar menahan kedua lapar dan dahaga.

Apabila hanya menyentuh aspek lahiriah, maka aspek batiniah menjadi suatu yang penting juga untuk diingat. Hal tersebut menjadi penanda meningkatnya kualitas ruhani seorang hamba mengenai pemaknaan lebih dalam tentang puasa sebagai miniatur suluk.

Baca Juga: Bacaan Doa Setelah Sholat Tarawih dan Witir, Lengkap Teks Arab, Latin dan Terjemahnya

Suluk atau jalan/praktik/laku bertasawuf biasa dipahami sebagai melakukan mujahadah (perjuangan keras menaklukan hawa nafsu/keakuan yang bisa mendorong kepada maksiat) dan riyadhah (praktik spiritual melakukan pendekatan kepada Allah lewat Ibadah wajib dan sunnah, serta berbagai bacaan dzikir, wirid, dan hizib).

Haidar Bagir, penulis buku-buku tentang tasawuf, berpandangan bahwa puasa termasuk anjuran mengisi waktu dengan memperbanyak ibadah Sunnah, mendaras Al-quran, melakukan dzikir-dzikir dan wirid-wirid, qiyamul-lail- sesungguhnya merupakan miniature dari suluk.

Termasuk meniru Nabi Muhamad Saw yang disebutkan dalam sunah : “Nabi adalah orang yang banyak bersedekah. Tapi, dalam bulan puasa, sedekahnya seperti angin, mengalir kesana dan kemari tanpa henti.”

Baca Juga: Keutamaan Tadarus Al-Quran di Bulan Suci Ramadhan, Amalan Baik yang Dilakukan Nabi Muhammad SAW

Ia berpendapat tujuan puncak dari suluk ialah mencapai ihsan. Yakni, hubungan pemujaan/cinta kepada Allah Swt, yang begitu intens, dalam bentuk masuknya seorang hamba ke hadirat ilahiyah, dalam pertemuan berhadap-hadapan/musyahadah dengan-Nya. Dalam ungkapan berbeda, segitiga mujahadah-riyadhah-ihsan ini bisa dirujuk sebagai proses takhalliy – tahalliy – tajalliy.

Takhalliy – bermakna pengosongan – maknanya sejajar dengan mujahadah. Yakni pengosongan hati kita dari nafsu keakuan/egoisme yang cenderung mendorong kita untuk berbuat maksiat.

Tahalliy – bermakna penghiasan – kiranya sejajar dengan riyadhah. Yakni mengisi hati kita dengan nilai-nilai ibadah yang sesungguhnya mencakup – bukan hanya gerakan-gerakan lahir – tetapi lebih penting lagi merupakan aktivitas batin.

Jika kita selesai dengan takhalliy dan tahalliy, maka kita pun akan mencapai tahap bertajalliy nya Allah Swt. di dalam hati kita. Inilah tingkatan Ihsan. Sabda Nabi: “Allah itu indah dan menyukai keindahan”. Maka Dia hanya akan bersemayam di tempat yang indah yang sudah terhiasi. Yakni hati yang sudah bebas dari nafsu amarah dan telah dipenuhi dengan ibadah-ibadah yg memenuhi nilai-nilai kekhusyukan dan kekhudhu’an (kehadiran dan merendahkan hati).

Ia pun memberikan pendapat mengenai 4 Rukun mujahadah yang sangat berkaitan dengan berpuasa, sebagai berikut :

1. Qillatut-tha’am, yang untuk masa sekarang kiranya lebih pas diterjemahkan sebagai “konsumsi seperlunya.” Biasa juga disebut dengan zuhud.
2. Qillatul manam, yakni tidur seperlunya. Biasa juga disebut sebagai sabar.
3. Qillatul kalam (bicara seperlunya). Biasa juga disebut dengan shamt.
4. Yang terakhir adalah i’tuzalul anam (menarik diri dari pergaulan yang berlebihan). Biasa juga disebut sebagai ‘uzlah saja.
Ibnu Arabi menambah dengan unsur ke-5, yakni meniru Rasul saw.

Maka, jika seseorang yang hendak memiliki modal awal yang besar untuk bertasawuf atau suluk (sepanjang tahun), maka memaksimumkan kualitas ibadah (di bulan) puasa adalah jalan yang terbaik.***

Editor: Abdul Rokib


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x