Disiplin Ilmu: Kritik Atas Tradisi Akademik Barat

- 13 September 2021, 07:27 WIB
Moeflich H. Hart. DISIPLIN ILMU: Kritik Atas Tradisi Akademik Barat
Moeflich H. Hart. DISIPLIN ILMU: Kritik Atas Tradisi Akademik Barat /Dok Literasi News/

Literasi News - Salah satu kelemahan tradisi akademik produk Barat adalah berbicara harus berdasar disiplin ilmunya. Kalau bukan dari disiplin ilmunya, bukan kuliah dan sarjana tertentu, itu tak otoritatif, tidak sesuai latar belakang dan keahliannya, maka pendapatnya tidak valid. Walaupun logis, rasional, faktual dan argumentasinya kuat tetapi karena bukan dari disiplin dan bidangnya, sehingga dinilai lemah, tak kuat, tak usah didengar. Itu menjadi tradisi di semua perguruan tinggi bahkan di perguruan tinggi Islam.

Bidang dan keahlian itu memang penting, memperkuat otoritas tapi bukan pemegang hak kebenaran. Bahkan spesialisasi dalam ilmu itu sebenarnya sebuah kelemahan karena ilmu di kotak-kotak, di sekat-sekat, otak dikurung, kecerdasan tak dihargai, dan pikiran dibatasi.

Disiplin ilmu dalam pengertian dan tradisi modern, dimana otoritas ada pada disiplin itu, tak dikenal dalam Islam. Yang ada dalam Islam itu bidang atau jenis-jenis ilmu dan "jenis ilmu" berbeda pengertiannya dengan "disiplin ilmu" dalam pengertian Barat modern.

Sejarah peradaban Islam tak mengenal adanya disiplin ilmu, dan para ulama besar ahli ilmu yang termasyhur di dunia Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Al-Khawarizmi, Imam Asy-Syafi'i dll tak dikenal kerena disiplin ilmunya, melainkan keahliannya, kedalamannya, dan penguasaannya atas sebuah ilmu atau berbagai ilmu (intergrasi ilmu) yang diketahui melalui karya-karyanya.

Latar belakang pendidikan (sekolah/kuliah) dan keahlian memang penting, tapi sekali lagi, bukan pemegang otoritas ilmu, bukan pemegang hak kebenaran dan yang paling benar.

Orang boleh percaya pada Steven Hawking tentang alam semesta tapi teori Stephen Hawking bukan berarti yang paling benar dan pasti benar. Orang boleh percaya pada Quraisy Shihab sebagai ahli tafsir tapi bukan berarti pasti benar atau yang paling benar.

Orang boleh percaya pada kiyai/ulama ahli kitab kuning, tapi bukan berarti yang paling benar. Orang boleh percaya pada Nurcholish Madjid, Taufik Abdillah, Jalaluddin Rahmat, atau ilmuwan siapapun, tapi tentu saja, mereka bukan yang paling benar.

Dalam ilmu-ilmu manusia tidak ada istilah "paling benar" karena yang paling benar hanya Allah SWT dan Nabi SAW, yang ada adalah yang paling kuat argumentasinya yang bisa dipegang sebagai kebenaran sementara. Namun nantinya bisa berubah karena mencari kebenaran ilmu itu tak ada batas, akhir, dan ujungnya.

Disiplin ilmu adalah upaya penyekatan spesialisasi yang membatasi keluasan ilmu yang antar ilmu itu ada relasi dan keterkaitan. Memang, istilah disiplin ilmu itu sendiri dan otoritasnya adalah fenomena modern sejak peradaban Barat, bertumpu pada modernitas dan positivisme, menghegemoni cara berpikir dan menjadi ukuran kebenaran formal di dunia akademik.

 

Dosa Besar

Oleh Arnold (1992) spesialisasi ilmu itu disebut sebagai dosa besar peradaban modern. Dalam The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992: 16), Arnold menyebutkan terdapat delapan dosa besar sains modern yang berkaitan erat satu sama lain:

1. Orientasi mekanistis dan materialis yang ekslusif;
2. Keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab-sebab dan akibatnya (‘why’ things work).

3. Spesialisasi yang berlebihan, tidak berhubungan dengan persoalan global;
4. Mengungkap hanya “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan;

5. Melayani vested-interest dan mode;
6. Dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan;

7. Kepura-puraan bahwa sains adalah bebas nilai;
8. Kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia.

Menjadi dokter spesialis adalah menjadi dokter ahli yang semakin dalam pada keahlian tertentu tapi makin tak tahu ilmu-ilmu yang lain. Demikian juga menjadi doktor. Doktor itu harus menyempit dan spesialis, tapi lagi-lagi, makin banyak tak tahu ilmu-ilmu lain yang demikian banyak dan luas dalam kehidupan.

Jadi, menjadi spesialis dan menjadi doktor adalah penyempitan ilmu, tanpa terasa. Itulah makanya, banyak spesialis dan doktor menjadi gamang pada banyak persoalan yang berkembang dan tak responsif pada isu-isu aktual yang memerlukan pencerahan. Sebabnya, karena sempitnya ilmu yang dipelajari.

 

Kebingungan

Masalah ini sebenarnya sudah mulai disadari, makanya sekarang di pasca-pasca sarjana semua perguruan tinggi didorong dan dikembangkan penelitian dan penulisan disertasi pendekatan integratif: pendekatan integrasi ilmu-ilmu karena hanya pendekatan satu ilmu ternyata tidak memuaskan.

Bila dalam peradaban Islam ada ulama-ulama besar yang berilmu banyak, di Perancis modern dikenal seorang bernaman Michel Foucault (1926-1984) filosof dan pemikir posmodern dari madzhab critical theory (teori kritis).

Para ilmuwan dan para pengkaji pemikiran-pemikiran Foucault kebingungan menempatkan dia sebagai ahli disiplin ilmu apa. Sebab Foucault berbicara semua ilmu dan membongkar semua ilmu: filsafat, sejarah, sosiologi, politik, psikologi, gender, sastra, bahasa dll.

Kebingungan para ilmuwan menempatkan Foucault sebagai ahli apa karena kesempitan konstruksi ilmu yang dibangun tradisi akdemik dunia modern.

Lantas, ilmu apa yang paling mendekati kebenaran, ilmu yang kalau diberikan berbekas dan berpengaruh pada pengetahuan, pikiran, jiwa-jiwa dan hati-hati manusia? Memberikan kesadaran dan mendorong perubahan?

Dalam Islam, jawabannya bukan disiplin ilmu, keahlian dan spesialisasi, tapi ilmu yang diamalkan. Ilmu yang diamalkan adalah ilmu yang bermanfaat.

Oleh Islam, kita diajarkan bukan untuk menjadi ahli dalam disiplin ilmu tertentu tapi diperintahkan untuk memiliki ilmu yang bermanfaat dan tinggalkan ilmu yang tidak bermanfaat.

Do'anya pun bukan "Allahummar zuqni 'ilman disiplinan" atau "'ilman ahliyan" tapi "Allahummar zuqni 'ilman nafi'an." Ya Allah, anugrahilah kami ilmu yang bermanfaat. Itulah ilmu yang akan menyelamatkan hidup di dunia dan akhirat dari hisab ilmu yang tidak diamalkan. Wallahu a'lam.***

Editor: Hasbi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah